PEMBAHASAN
UPAYA HUKUM
TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
A.
Verstek dan Verzet
1.
PERLAWANAN/VERZET
Yaitu upaya hukum
terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek).
Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak Tergugat yang
dikalahkan. Bagi Penggugat, terhadap putusan verstek ini dapat
mengajukan banding.
Dalam suatu gugatan di
Pengadilan, apabila tergugat setelah dipanggil sesuai ketentuan tidak hadir
sampai pada putusan, maka putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim adalah
putusan verstek atau putusan tanpa kehadiran tergugat. Nah,
apabila tergugat yang telah dijatuhi putusan verstek keberatan
atas putusan tersebut, maka upaya hukum yang bisa dilakukan adalah dengan
mengajukan perlawanan (verzet). Jadi tidak seperti putusan biasa yang
dapat dilakukan upaya banding. Karena itu permohonan banding terhadap
putusan verstek menjadi cacat formil sehingga tidak dapat
diterima. Dalam putusan MA no. 1936 K/Pdt/1984, antara lain ditegaskan bahwa
permohonan banding yang diajukan terhadap putusan verstek tidak
dapat diterima karena upaya hukum terhadap verstek adalah verzet.
Perlawanan (verzet)
terhadap putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat
berusaha melawan putusan verstek / tergugat mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek. Tujuannya, agar terhadap
putusan itu di lakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses
pemeriksaan kontradiktor dengan permohonan agar putusan verstek di
batalkan, sekaligus supaya gugatan penggugat ditolak.
Dalam proses
pemeriksaan perlawanan atau verzet, terdapat beberapa landasan
hukum yang harus dipenuhi, antara lain : Perlawanan (verzet) harus
diajukan kepada Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan verstek;
Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya; Disampaikan kepada PN yang
menjatuhkan putusan verstek dalam dengan batas tenggang waktu
yang ditentukan pasal 129 ayat (2) HIR; Ditujukan kepada putusan verstek tanpa
menarik pihak lain, selain daripada penggugat semula.
Perlawanan
terhadap verstek, bukan merupakan perkara baru. Perlawanan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Dengan
demikian, perlawanan merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran
dalil gugatan semula, dengan alasan bahwa putusan verstek yang
dijatuhkan keliru dan tidak benar. Berdasarkan putusan MA No. 307K/Sip/1975
disebutkan bahwa verzet terhadapverstekverzet atau verstek,
pelawannya berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat. tidak
boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedangkan dalam putusan MA
494K/Pdt/1983 ditegaskan bahwa dalam proses.
Sedangkan pemeriksaan
perlawanan (verzet) adalah berdasarkan gugatan semula. Hal ini mengacu
pada putusan MA No. 938K/Pdt/1986. Dalam putusan tersebut terdapat pertimbangan
antara lain bahwa subtansi verzet terhadap putusan verstek harus
ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/penggugat
asal. Dengan demikian verzet yang hanya mempermasalahkan alasan
ketidakhadiran pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan dianggap tidak
relevan. Oleh karena itu, putusan verzet yang hanya
mempertimbangkan masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat atau memenuhi
panggilan sidang adalah keliru.
Mengenai putusan
perlawanan atau putusan verzet, apabila dalam peyelesaian satu
perkara diterapkan secara verstek yang kemudian diikuti
acara verzet terhadap putusanverstek tersebut,
maka PN akan menerbitkan dua bentuk keputusan: Pertama,putusanverstek sesuai
dengan putusan verstek yang di gariskan pada peraturan hukum
acara perdata, pasal 125(1) HIR; Kedua, putusan verzet berdasarkan
acara verzet yang diatur pasal 129 (1) HIR. Kedua putusan
tersebut saling berkaitan karena sama-sama bertitik tolak dari kasus yang sama.
2.
Putusan Verstek
- Adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir
meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan
- Verstek artinya tergugat tidak hadir
- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah
tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang
tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah
dipanggil dengan resmi dan patut
- Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan
orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang
sah
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
d. Penggugat hadir dalam sidang
e. Penggugat mohon keputusan
- dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula
diputus verstek.
- Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belum menilai
secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat
- Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa
mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena
dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam
perkara perceraian
- Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek
dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek
- Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet)
- Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya
lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding
- Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding
- Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan
verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding
- Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran
dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan
verstek
- Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan
pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya
- Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)
- Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil
pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan
verstek dan menolak gugatan penggugat
- Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir
akan menguatkan verstek
- Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding
-
Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding,
dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
B. BANDING
Yaitu pengajuan perkara
ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan,
apabila para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat pertama.
Banding artinya proses
menentang keputusan hukum secara resmi. Prosedur banding, termasuk apakah
seorang terdakwa memiliki hak banding, berbeda-beda di setiap negara. Banding
Jika putusan pengadilan negeri dirasakan kurang memuaskan, maka pihak yang
merasa kurang puas tersebut dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi.
Memori banding yang dibuat pengugat harus diajukan melalui panitera pengadilan
negeri tempat pertama kali perkara diajukan dengan jangka waktu yang tepat,
atau dengan kata lain tidak boleh lebih dari 14 hari kerja, sejak putusan
dikeluarkan oleh PN.
Di Indonesia banding
diajukan di Pengadilan Tinggi yang terletak di ibukota provinsi. jika banding
dimohonkan perkara menjadi mentah kembali. Banding dilakukan oleh pihak yang
berkepentingan (pihak yang dikalahkan oleh putusan Pengadilan Negri). Banding
untuk melengkapi bila putusan PN (pengadilan Negri) itu salah atau kurang tepat
dan menguatkan putusan PN jika putusan PN benar.
Tenggang waktu banding
adalah 14 hari semenjak pengumuman putusan PN. Di Amerika Serikat, sistem hukum
mengenal dua jenis banding: pengadilan de novo atau appeal on the record.
Pengadilan de novo, semua bukti dapat dikemukakan kembali, seakan-akan belum
pernah diajukan. Dalam appeal on the record, yang digunakan biasanya adalah
preseden.
Adalah upaya hukum yang
dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan
Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding
harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan
(pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut
pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal
188-194 HIR, yaitu:
- ada pernyataan ingin banding
- panitera membuat akta banding
- dicatat dalam register induk
perkara
- pernyataan banding harus sudah
diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding
tersebut dibuat.
- pembanding dapat membuat memori
banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.
Berpedoman kepada
ketentuan yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15, dinyatakan :
- Tenggang
waktu permohonan banding :
-
14 hari sejak putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak Pemohon
banding hadir sendiri dipersidangan.
-
14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila Pemohon banding tidak hadir pada
saat putusan diucapkan di persidangan.
-
Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan
prodeo dari Pengadilan Tinggi kepada Pemohon banding.
- Pengajuan permohonan banding
disampaikan kepada Panitera pengadilan yang memutus perkara di tingkat
pertama
- Penyampaian memori banding adalah
hak, bukan kewajiban
hukum bagi Pemohon banding.
- Satu bulan sejak dari tanggal
permohonan banding, berkas perkara harus sudah dikirim ke Panitera
Pengadilan TinggiAgama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun 1947).
C. KASASI
Pemeriksaan tingkat
kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya memeriksa dan mengadili
perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat terbatas, dan hanya
meliputi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14 Tahun 1985, yaitu
terbatas sepanjang mengenai :
- Memeriksa dan memutus tentang tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang Pengadilan tingkat bawah dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara.
- Memeriksa dan mengadili kesalahan
penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan
bawahan dalam memeriksa dan memutus perkara.
- Memeriksa dan mengadili kelalaian
tentang syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tingkat kasasi tidak berwenang
memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki peradilan tingkat
pertama dan tingkat banding, oleh karenanya peradilan tingkat kasasi tidak
termasuk judex facti.
Upaya Hukum Kasasi
1. Pengertian
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung.
Pengadilan kasasi ialah Pengadilaan yang memeriksa
apakah judec factie tidak salah dalam melaksanakan peradilan. Upaya hkum
kasasi adalah upaya agar putusan judec factie dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena
salah dalam melaksanakan peradilan.
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat
peradilan terakhir dan dimana menetapkan
perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan
hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan,
hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244
UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pemohon kasasi lawannya
terlawan kasasi. Dalam hal ini kedua belah pihak sama-sama memohon kasasi,
berarti hanya ada pemohon kasasi, tidak ada termohon kasasi.
Upaya hukum kasasi baru
bisa digunakan kalau sudah mempergunakan upaya hukum banding.
Menurut pasal 29 dan 30
UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan
pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan
dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam
permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004
adalah:
- tidak berwenang (baik kewenangan
absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;
- salah menerapkan/melanggar hukum
yang berlaku;
- lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Terhadap
putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain
daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung ( pasal
10 ayat 3 UU No. 14/1970).
Pihak-pihak yang tidak
puas dengan putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi Agama atau penetapan
Pengadilan Agama (dalam gugatan voluntair), dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, dengan memenuhi syarat-syarat kasasi. Selain itu, kasasi juga dapat dimintakan
demi kepentingan hukum.
2. Syarat-Syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah:
a) Diajukan
oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi.
b) Diajukan
masih dalam tengggang waktu kasasi.
c) Putusan
atau penetapan judec factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d) Membuat
memori kasasi.
e) Membayar
panjar biaya kasasi.
f) Menghadap
ke Kepaniteraan PA yang bersangkutan.
Permohonan kasasi hanya
dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu (pasal 44 ayat (1) uu No. 14/1985). Apabila dalam surat kuasa telah disebutkan bahwa wakil
tersebut telah pula diberikan kuasa untuk mengajukan kasasi, maka tidak
diperlukan lagi surat kuasa baru.
Permohonan kasasi hanya
dapat diajukan dalam masa tengggang waktu kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari
sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang
bersangkutan. Apabila melewati waktu tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan
pihak berperkara, maka dianggap telah menerima putusan (pasal 46 ayat (2) UU
No. 14/1985).
Permohonan kasasi wajib
menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya (pasal 47 ayat (1).
Berbeda dengan banding di mana permohonan banding tidak wajib membuat memori
banding. Memori kasasi merupakan syarat mutlak untuk diterimanya permohonan
kasasi. Yang berwenang menilai apakah syarat-syarat kasasi telah dipenuhi atau
tidak adalah Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
3. Alasan-Alasan Kasasi
MA memutuskan
permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat
Terakhir dari semua lingkungan Peradilan. Pembatalan putusan atau penetapan
dari semua lingkungan Peradilan oleh MA karena :
a) Tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang.
b) Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peratran perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (pasal 30 UU
No. 14/1985).
D.
Peninjauan Kembali
Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata “Herziening”, Mr. M. H.
Tirtaamijaya menjelaskan herziening sebagai berikut : itu adalah sebagai jalan
untuk memperbaiki suatu putusan yang telah menjadi tetap-jadinya tidak dapat
diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan hakim yang merugikan si
terhukum…, kalau perbaikan itu hendak dilakukan maka ia harus memenuhi syarat,
yakni ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui
oleh hakim itu…, jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan putusan lain.
Dalam buku yang lain menyatakan bahwa peninjauan kembali atau biasa disebut
Request Civiel adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat
diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan
hakim akan menjadi lain.
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh MA. Peninjauan kembali diatur
dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila
terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan
peninjauan kembali kepada MA, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak
yang berkepentingan (pasal 21 UU No. 14/1970).
b). Syarat-syarat peninjauan kembali
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk peninjauan kembali diantaranya
sebagai berikut :
1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Membuat surat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
4. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
5. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang memutus perkara pada tingkat
pertama.
Adapun yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah para pihak yang
berperkara atau ahli warisnya (yang dapat dibuktikan dengan akta dibawah tanda
tangan mengenai keahliwarisannya yang didelegasi oleh Ketua Pengadilan Agama)
apabila pemohon meninggal dunia (pasal 68 UU No. 14/1985), juga bisa dengan
wakil yang secara khusus dikuasakan untuk mengajukan permohonan PK dengan bukti
adanya surat kuasa. Adapun Permohonan PK diajukan dalam masa tenggang waktu
yang tepat yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari.
c). Alasan-alasan peninjauan kembali
Beberapa alasan diajukannya peninjauan kembali, antara lain :
1. Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Apabila perkara sudah diputus, tetapi masih ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
3. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan
sebab-sebabnya.
4. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yang sama, atau
dasarnya sama, diputuskan oleh pengadilan yang sama tingkatnya, tetapi
bertentangan dalam putusannya satu sama lain.
5. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata. (pasal 67 UU No. 14/1985).
d). Pencabutan permohonan peninjauan kembali
Permohonan PK dapat dicabut selam belum diputuskan, dalam dicabut permohonan
peninjauan kembali (PK) tidak dapat diajukan lagi (pasal 66 ayat (3) UU No.
14/1985). Pencabutan permohonan PK ini dilakukan seperti halnya pencabutan
permohonan kasasi.